Kemarau panjang di pertengahan bulan menyisakan sedikit rintikan kemarin malam. Sekarang kulihat genting tetangga telah kering oleh teriknya siang. Dedaunan kering menghempaskan diri ketika angin sepoi dengan iseng menyentilnya. Satu-dua sepeda lewat, menyusuri gang kecil yang terhindar dari gaduhnya dunia luar. Ada suara renyah terdengar ketika ban-ban sepeda menggilas dedaunan kering yang terkapar pasrah di gang sepi itu.
Sesekali gorden jendelaku berkibar tertiup kipas angin. Suara bising kipas tua itu nampak lebih perkasa ketimbang tiupannya. Walau begitu, si kipas tetap rajin berputar ketika kunyalakan. Lumayanlah, suaranya cukup nikmat untuk teman tidur siangku yang cuma beberapa menit. Beberapa kali ibu menawarkan agar si kipas tua itu diganti saja dengan AC baru, yang lebih gagah tentunya. Namun ku tolak. Kipas tua ini cukup bisa menemani aku di rumah ini.
Ponselku bergetar, berteriak memanggilku. "Saya sudah di depang, Neng!" Ujar seseorang di seberang sana. Dengan sigap aku turun dan membuka pintu gerbang.
"Jadi empat puluh dua ribu, Neng!" Si bapak tersenyum sambil menyerahkan bungkusan plastik beraroma menggoda.
Kuberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu. "Kembaliannya buat bapak aja. Makasih."
"Eh, iya sama-sama. Makasih juga, Neng!"
"Erm, tinggal sendiri?" Si bapak bertanya melihat halaman rumah yang nampak lengang.
"Enggak." Jawabku singkat menunjuk jemuran pakaian yang penuh dengan pakaian orang dewasa.
Setelah melihatnya, si bapak langsung mundur kemudian mengendarai sepeda motornya.
Ya, sebenarnya aku memang tinggal sendiri. Meski begitu, ibu bilang agar jangan memperlihatkannya, apalagi pada orang lain. Maka aku sengaja mengambil baju ayah dan ibu di rumah untuk ku cuci dan jemur tiap hari. Yah, setidaknya aku tak boleh bersikap seperti domba yang minta diterkam serigala.
Sudah beberapa bulan ini aku tinggal di rumah ini. Rumah yang tak asing bahkan sejak aku belum lahir. Dulunya, ini adalah rumah mendiang nenekku. Sepeninggalnya, ayah dan ibu membeli rumah ini dan membagikan uangnya pada paman dan bibi. Ayah dan ibu memang tidak berniat tinggal di sini. Tapi mereka tetap membelinya. Sayang katanya kalau dijual pada orang luar.
Karena kampus baruku cukup dekat dari sini, jadilah aku tinggal di sini. Tanpa biaya sewa, tanpa biaya transportasi, dan tanpa gangguan adikku tentunya. Ah, aku tidak membenci adikku. Hanya saja, dia jadi menyebalkan sejak puber.
Lingkungan ini sudah berubah sejak lama. Dulu, kala masih kanak-kanak, semua tetangga saling mengenali satu sama lain dari orang pemilik rumah, pembantu, pacar si anak, hingga musuh si cucu saja semua warga kompleks ini tahu. Tapi entah sejak kapan, warga di sini sekarang tak saling mengenali lagi. Jangankan tahu namanya, apa pekerjaannya, saling senyum saat tak sengaja bertemu muka saja nampaknya ogah sekali.
Yah, tidak masalah sih. Toh aku juga sering pergi pagi pulang malam, jarang sekali ada waktu luang untuk bertemu mereka.
Kecuali seperti ini. Akhir pekan. Aku tidak berkegiatan di kampus. Tidak punya teman untuk sekadar hang out seperti remaja lainnya juga. Kalau begini, setelah cemilan sore biasanya aku menyapu dedaunan kering di halaman rumah.
Sepi. Nampaknya para tetangga tengah berakhir pekan jauh dari rumahnya. Sesekali satu-dua pedagang cendol dan bakso lewat. Meninggalkan dentingan kaca dengan besi yang mereka duetkan.
Sesekali gorden jendelaku berkibar tertiup kipas angin. Suara bising kipas tua itu nampak lebih perkasa ketimbang tiupannya. Walau begitu, si kipas tetap rajin berputar ketika kunyalakan. Lumayanlah, suaranya cukup nikmat untuk teman tidur siangku yang cuma beberapa menit. Beberapa kali ibu menawarkan agar si kipas tua itu diganti saja dengan AC baru, yang lebih gagah tentunya. Namun ku tolak. Kipas tua ini cukup bisa menemani aku di rumah ini.
Ponselku bergetar, berteriak memanggilku. "Saya sudah di depang, Neng!" Ujar seseorang di seberang sana. Dengan sigap aku turun dan membuka pintu gerbang.
"Jadi empat puluh dua ribu, Neng!" Si bapak tersenyum sambil menyerahkan bungkusan plastik beraroma menggoda.
Kuberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu. "Kembaliannya buat bapak aja. Makasih."
"Eh, iya sama-sama. Makasih juga, Neng!"
"Erm, tinggal sendiri?" Si bapak bertanya melihat halaman rumah yang nampak lengang.
"Enggak." Jawabku singkat menunjuk jemuran pakaian yang penuh dengan pakaian orang dewasa.
Setelah melihatnya, si bapak langsung mundur kemudian mengendarai sepeda motornya.
Ya, sebenarnya aku memang tinggal sendiri. Meski begitu, ibu bilang agar jangan memperlihatkannya, apalagi pada orang lain. Maka aku sengaja mengambil baju ayah dan ibu di rumah untuk ku cuci dan jemur tiap hari. Yah, setidaknya aku tak boleh bersikap seperti domba yang minta diterkam serigala.
Sudah beberapa bulan ini aku tinggal di rumah ini. Rumah yang tak asing bahkan sejak aku belum lahir. Dulunya, ini adalah rumah mendiang nenekku. Sepeninggalnya, ayah dan ibu membeli rumah ini dan membagikan uangnya pada paman dan bibi. Ayah dan ibu memang tidak berniat tinggal di sini. Tapi mereka tetap membelinya. Sayang katanya kalau dijual pada orang luar.
Karena kampus baruku cukup dekat dari sini, jadilah aku tinggal di sini. Tanpa biaya sewa, tanpa biaya transportasi, dan tanpa gangguan adikku tentunya. Ah, aku tidak membenci adikku. Hanya saja, dia jadi menyebalkan sejak puber.
Lingkungan ini sudah berubah sejak lama. Dulu, kala masih kanak-kanak, semua tetangga saling mengenali satu sama lain dari orang pemilik rumah, pembantu, pacar si anak, hingga musuh si cucu saja semua warga kompleks ini tahu. Tapi entah sejak kapan, warga di sini sekarang tak saling mengenali lagi. Jangankan tahu namanya, apa pekerjaannya, saling senyum saat tak sengaja bertemu muka saja nampaknya ogah sekali.
Yah, tidak masalah sih. Toh aku juga sering pergi pagi pulang malam, jarang sekali ada waktu luang untuk bertemu mereka.
Kecuali seperti ini. Akhir pekan. Aku tidak berkegiatan di kampus. Tidak punya teman untuk sekadar hang out seperti remaja lainnya juga. Kalau begini, setelah cemilan sore biasanya aku menyapu dedaunan kering di halaman rumah.
Sepi. Nampaknya para tetangga tengah berakhir pekan jauh dari rumahnya. Sesekali satu-dua pedagang cendol dan bakso lewat. Meninggalkan dentingan kaca dengan besi yang mereka duetkan.
Komentar
Posting Komentar