Pukul 1:50 pagi kamu masih tersenyum dengan mata beratmu di depan layar ponsel
meski nomor yang kau hubungi adalah milikku, namun ku tahu senyummu bukan untukku.
Tak lama kamu akan tertidur dengan lelap, tak peduli akan diriku yang masih terjaga
tak peduli padaku yang selalu berusaha untuk menjagamu. Tak apa, aku baik-baik saja.
Aku selalu ingin berada di sisimu, berjalan tanpa canggung dengan saling berpegangan tangan,
mengatakan kamu cantik di tiap pagi aku menjemputmu,
memuji kue buatanmu yang tetap ku makan meski terasa seperti batu,
menunggumu selesai eskul hingga larut malam untuk mengantarmu pulang.
Aku senang melihatmu sering memakai baju berwarna pastel untuk menemuiku,
berlarian dengan warna rambut yang sering kali kau ubah sesuka hati,
memakan makanan apapun yang kamu mau di sepanjang jalan, dan
terlihat cerah. Menyilaukan. Membahagiakan.
Berada di sekitarmu membuatku merasakan kehangatan, seakan hangatnya mentari tetap memelukku kala malam tiba,
mengetahui kamu bersedih, aku hancur berantakan, membuatku mampu menghajar seisi kota,
melihatmu tersenyum membuatku memiliki perasaan damai serta bahagia, dan
berada di sisimu membuatku sesak karena bahagia. Mati di tempat.
Aku menyayangimu, ingin ku katakan dengan jelas tepat di hadapanmu.
Tidak, aku bukan menyayangimu seperti ini, seperti biasanya, seperti teman dekat terhadap sahabat,
aku menyayangimu sebagai pria pada wanita, sebagai kanan terhadap kiri, sebagaimana ayah kepada ibumu.
Tapi aku tak bisa, tak mampu, tak sanggup, terlalu pengecut.
Maaf, aku hanya dapat bernapas tiap kali kau berkeluh-kesah,
membatasi gerakan tanganku tiap kali matamu berkaca-kaca,
selalu menahan bibirku untuk dapat mengatakan beberapa kata penenang.
Tak apa, semua akan baik saja. Aku ingin mengatakannya sembari menepuk pundakmu lembut.
Aku selalu ingin memberimu pelukan tiap kali kamu berhasil melakukan sesuatu,
tersenyum bangga dan mengacak-acak rambutmu dan berkata you did well.
Tapi aku tak bisa tersenyum selebar itu, tanganku tak akan tega merusak rambut indahmu, juga
merengkuhmu dalam mimpi pun aku tak sanggup, apa jadinya bila aku sungguh memberanikan diri memelukmu?
Ah, maaf. Apa suara hatiku terlalu berisik dan mengganggu tidur pulasmu?
Maaf, lanjutkan mimpi indahmu, esok pagi kau harus tampil cerah untuk menemuinya
sementara aku akan selalu di sini, menunggu kabar bahagia kalian lewat ceritamu.
Kamu adalah matahariku, meski
aku hanya meme di internet yang bisa hilang kapanpun,
cuma supir pribadi harianmu, sekadar tukang bakso yang lewat depan rumahmu.
Aku sudah terlalu cukup tahu diri untuk menyadari bahwa aku bukanlah pemeran utama dalam ceritamu.
Komentar
Posting Komentar